Kamis, 15 Maret 2012

Kuriding

Ampat si ampat lima ka ay
kuriding patah
patah sabilah, patah sabilah,
di higa lawang
Ampat si ampat lima ka ay
'ku tanding sudah
kada manyama, kada manyama,
nang baju habang

Siapa yang tak kenal dengan lagu tersebut..? ya lagu dengan judul “Ampat Lima” karya H. Anang Ardiansyah ini sangat dikenal masyarakat di Kalimantan Selatan. Namun kenal kah anda dengan “kuriding” tak sedikit yang mungkin tidak tahu seperti apa wujud si “Kuriding”. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menyampaikan sebuah catatan pengalaman berkenalan dengan alat musik tradisional yang sangat langka ini.
Berawal dari informasi seorang teman yang menyampaikan akan ada sebuah pertunjukan kesenian “Kuriding” pada acara pembukaan “Kongres Budaya Banjar II” nah tentunya sangat menarik untuk disaksikan.



Pada acara pembukaan KBB II ditampilkan kesenian “Kuriding” yang dimainkan oleh seniman dari Kabupaten Batola (Marabahan) ternyata mereka yang memainkan ini berasal dari suku Bakumpai yang sudah turun temurun menggeluti kesenian ini.


Dari penuturan salah satu pemain Kuriding yang bernama Ibu Raminah, beliau menceritakan saat ini sudah jarang yang bisa memainkan alat musik ini dan bahkan yang membuatnya pun sudah lama meninggal sehingga mereka hanya bisa memainkan “Kuriding’ peninggalan secara turun temurun namun tidak bisa membuatnya. Memainkan Kuriding perlu keterampilan khusus, “Dulu jumlah kami yang belajar kuriding sekitar 50 orang, tapi terus bermain hanya tiga orang,” kata Raminah sambil memperlihatkan kuriding.


Ia mewarisi kuriding dari ayahnya, lalu menceritakan bahan membuat kuriding dari enau, atau kayu mirip ulin (kayu pangaris) yang hanya ada di daerah Muara Teweh, Barito Utara. Sesulit memainkannya, alat kuriding juga sulit dibuat meskipun tampak sederhana. “Kalau salah membuatnya dapat membahayakan pemain, makanya lagu Kuriding patah itu benar adanya. Sebab, kuriding bisa patah ketika dimainkan dan berakibat membahayakan pemainnya,” terangnya. Melihat kenyataan demikian, perempuan dari suku Bakumpai ini khawatir, generasi muda kini susah belajar bermain musik tradisional Kuriding.




Rasa penasaran dengan alat musik ini semakin meningkat, dengan bantuan salah seorang kawan dari Kota Kandangan, saya memesan 3 buah Kuriding yang dibuat dari kayu Bengkala kepada salah seorang warga Dayak Loksado yang bisa membuat “Kuriding’. Pembuatnya menyampaikan membuat kuriding sangat sulit karena dari sepuluh buah kuriding yang dibuat, yang menghasilkan kualitas bagus hanya 5-6 buah saja. Dan kayu bengkala hanya ada di lereng gunung kentawan (Kec. Loksado)



Guriding atau Kuriding adalah alat musik tradisional asli buatan nenek moyang orang Banua, Kalimantan Selatan. Kuriding terbuat dari bambu atau kayu, berbentuk kecil, dan memiliki alat getar (tali) serta tali penarik. dimainkan dengan cara ditempelkan di bibir sambil menarik gagang tali getar. Bunyi akan muncul ketika tali getar bergetar. Dan bunyi akan terdengar merdu jika sang pemain dapat menarik tali dengan ritme tertentu.

Mitos asal-usul menarik untuk disimak. Syahdan, Guriding adalah milik seekor macan di hutan Kalimantan Selatan. Suatu ketika, sang macan meminta anaknya untuk memainkan guriding. Namun, sang anak justru mati karena tenggorokannya tertusuk guriding. Akibatnya sang macan mewanti-wanti agar anak keturunannya tidak lagi memainkan guriding. Dalam perkembangannya, mitos ini menjadi dasar mitos masyarakat Banjar membunyikan guriding, yakni sebagai alat ampuh untuk mengusir macan. Mereka juga menggantungkan atau meletakkannya di atas tempat tidur anak-anak mereka

Dalam kehidupan sosial dan budaya orang Banjar, guriding memiliki fungsi guna yang beragam, yaitu sebagai alat untuk pelipur lara di kala sepi dan melepas lelah usai bekerja di kebun atau hutan, sebagai alat untuk mengingatkan mereka akan leluhur, dan sebagai media yang disakralkan. Fungsi-fungsi ini masih dipercaya oleh masyarakat hingga kini. Akan tetapi mereka sudah jarang memainkan atau menyimpannya, kecuali mereka yang masih peduli dengan budaya tradisi.

Keberadaan guriding saat ini sangat memprihatinkan, bahkan hampir punah. saat ini hanya dimainkan oleh generasi tua yang tinggal di perkampungan. generasi muda sudah enggan memainkan guriding Selain dianggap sudah ketinggalan zaman, para generasi muda banua lebih suka memainkan alat musik modern, seperti gitar, mendengarkan musik dari radio atau telpon genggam.

Kuriding atau Guriding merupakan peninggalan leluhur yang telah turut menyumbang kekayaan budaya Banjar mestinya dipelihara. Mengingat keberadaannya yang memprihatinkan, maka ini menjadi satu pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan para pemerhati budaya Banua untuk menyelamatkan guriding dari kepunahan.


Dan ternyata di daerah lain juga ada alat musik sejenis yang ternyata juga saat ini sangat langka, alat musik Kuriding termasuk dalam kategori alat musik “Jew’s Harp” yang diduga merupakan alat musik paling tua yang ada didunia sebarannya pun bukan hanya di Asia namun juga terdapat di Benua Eropa, dengan nama yang berbeda-beda dan bahannya pun juga beragam. Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang seperti Kuriding.
Di Indonesia alat musik yang sejenis dengan Kuriding juga terdapat di Daerah Istimewa Yogya karta biasanya dimainkan saat menjelang musim panen padi tiba namanya “Rinding”




Saat mulai dimainkan terdengar alunan bunyi yang unik dari bambu pipih yang ditiup dan bambu bulat yang dipukul. ”Inilah Rinding Gumbeng, alat musik yang kami percaya sudah ada sejak jaman purba dan sudah turun-temurun diwariskan kepada kami” ungkap Sudiyo, pimpinan kelompok ”Ngluri Seni” dari Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul.


Nah kalo di Sunda namanya “Karinding”, alat musik ini sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat di tatar Sunda sejak abad ke-15. dalam Bahasa Sunda, penyebutan Karinding juga merujuk pada Kakarindingan, yaitu sejenis serangga bersuara nyaring yang hidup di air sawah, saat ini Karinding dapat dijumpai di Kecamatan Cineam, Kab. Tasikmalaya




Selanjutnya di Pulau Dewata (Bali) alat musik ini dinamakan “Genggong”. Desa yang telah memiliki tradisi Genggong yang kuat adalah Batuan (Gianyar). Di sini Genggong dimainkan sebagai pengiring tari, yaitu tari Kodok dan sebagai sajian musik instrumental. Untuk membunyikannya, genggong dipegang dengan tangan kiri dan menempelkannya ke bibir. Tangan kanan memetik "lidah"nya dengan jalan menarik tali benang yang diikatkan pada ujungnya. perubahan nada dalam melodi genggong dilakukan dengan mengolah posisi atau merubah rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.
Kuriding, akan kah selamanya patah di Banua Banjar ini..? Tentunya perlu usaha semua pihak untu pelestariannya termasuk kita generasi muda sebagai pewaris budaya yang patut kita banggakan ini, Kuriding bisa di kolaborasikan dengan alat-alat musik modern yang dapat menghasilkan karya yang yang bisa dinikmati menurut selera anak muda saat ini…maulihat contohnya silahkan anda googling dengan kata “Karinding Attack”
Untuk Banua Banjar Tercinta Kami Berkarya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar