Menjelang pelaksanaan ujian nasional (UN) siswa SMP dan
SMA pertengahan April ini, satuan pendidikan kembali mengeluarkan
kebijakan kontroversial.
Di antaranya,
kebijakan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Harun melarang siswi hamil
mengikuti UN. Harun menganggap siswi yang hamil merupakan kegagalan
pendidikan.
Supremasi pendidikan berkarakter
bertumpuh norma sosial yang merujuk amanat UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinilai rusak.
Obsesi
Harun mencetak siswa-siswi cerdas dan bermoral mulia, patut diapresiasi
tinggi. Namun, tidak demikian kebijakannya melarang siswi hamil
mengikuti UN.
Kebijakan kontroversial ini
dianggap melukai perasaan orang yang mendapat musibah, karena memberi
stigma negatif dan sanksi berat karena tak diperbolehkan ikut UN.
Prinsipnya,
pendidikan itu esensi pemberadaban. Aktivitas belajar tak boleh
terhenti kapan pun, dan di mana pun. Apalagi jenjang SMP masuk
klasifikasi basic education, pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerintah
menargetkan pendidikan dasar sampai SMA.
Amanat
Pasal 31 UUD 1945 tegas dan jelas, dan UU Sisdiknas pun melegalisasi
dalam hukum nasional. Tak seayat pun dalam UU mengatur dan melarang
siswi hamil mengikuti UN.
Andai ke depan
direvisi dan dibuat larangan siswi hamil ikut UN, jelas bertentangan
konstitusi negara. Pendidikan fundamental right, hak dasar semua anak,
bahkan in all situations atau untuk segala situasi.
Membatasi
siswi hamil ikut UN, tak ubahnya merampas HAM anak memperoleh
pendidikan yang dijamin UUD 1945. Pendidikan menjadi fondasi
pembelajaran seumur hidup dan pembangunan manusia.
Begitu
urgen dan pentingnya pendidikan warga negara, negara meratifikasi
ketentuan Universal Declaration on Human Rights (UDHR) 1948.
PBB
menggariskan hak anak dalam Konvensi Hak-hak Anak. Intinya, tiap orang
memiliki hak pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidaknya di tingkat
pendidikan dasar. Begitu elementernya, pendidikan diwajibkan
Kita
berharap di Kalbar tak ada larangan ala kebijakan Kadisdik Jawa Timur.
Selain mencerabut HAM anak dan melanggar konstitusi, kebijakan itu
berpotensi meningkatkan ketuna-pendidikan anak perempuan.
Hingga
kini anak-anak perempuan di dunia rentan mengalami diskriminasi di
bidang pendidikan. Berdasarkan perkiraan PBB, 2/3 anak perempuan dari
100 juta anak di dunia tak memperoleh pendidikan dasar.
Penyebabnya, mulai adat, anak dipekerjakan sebagai buruh, perkawinan dini, hingga ketiadaan uang dan fasilitas untuk sekolah.
Pemenuhan
pendidikan anak setara, adalah realisasi prinsip konvensi
internasional. Di negara kita telah diimplementasikan dalam UU
Sisdiknas.
Larangan siswi hamil mengikuti UN
hanya menunjuk arogansi, jika tidak dilatari kemunafikan di balik usaha
mencerdaskan anak bangsa secara lahir dan batin.
Ironis,
Badan Standar Nasional Pendidikan dan Kemendiknas tak mengatur dan tak
membuat larangan. Sejatinya, kalau ada siswi hamil, siapa yang salah?
Selain lingkungan rumah, sekolah lazimnya bertanggungjawab.
Sudah
bermoral kah metode belajar-mengajar sekolah? Atau justru sekolah dan
Disdik turut memberi kontribusi, sehingga siswi tak punya kecerdasan
memahami norma kesusilaan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar